Setelah menempuh perjalan yang melelahkan, akhirnya kami tiba di Sumatra. Dan aku langsung mengabari bunda. Dengan nada senang bunda mengucap Alhamdulillah.
Hari-hari pertamaku di Sumatra sangat berbeda. Aku selalu teringat bunda, bunda, dan bunda. Hampir setiap hari dalam bulan pertamaku di sini, aku selalalu menelpon bunda. Hingga suatu hari bunda marah karena tinggahku itu.
"Sampai kapan kamu terus bergantung sama bunda. Kamu harus bisa mandiri tanpa bunda. Jangan nelpon bunda jika tidak ada keperluan ya Ais. Kamu harus fokus sama keluargamu, karena itu kewajibanmu." Ucap bunda di seberang telpon dengan nada sedikit keras dan kemudian telpon itu di tutup.
"Oh Rabb.. lagi-lagi aku membuat bunda marah. Tapi kenapa bunda harus marah dengan sikapku yang terbilang wajar untuk anak sematawayang kepada ibunya ?. mana yang salah dari sikapku. Atau aku memang terlalu berlebihan. Tapi bukankah dulu bunda sangat senang jika aku manja kepadanya. Kenapa sekarang tidak. Apa bunda tidak sayang lagi sama aku ?. YaAllah beri petunjukMu..”
Akupun menuruti semua keinginan bunda untuk tidak ku telpon. Tak bisa ku pungkiri aku sungguh merindukan bunda. Bunda sedang apa di sana, sehatkah bundaku. Makankah hari ini. Oh bunda, andaikan bunda tau Ais di sini sanggat merindukan bunda.
Kring..Kring..Kring..
Telpon rumahku berbunyi. Segera ku berlari untuk mengangkatnya dan berharap itu dari bunda.
“Assalamu’alaikum” Sapaku.
“Wa’alaikumsalam” Jawab orang di seberang telpon.
“Aisyah, ini ibu nak. Kamu sekeluarga sehat?”
Ternyata ibu mertuaku yang menelpon. Ibu memananyakan keadaanku sekeluarga dan memberitahu bahwa bundaku sakit dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit.
Setelah mendengar itu semua aku dan suamiku segera terbang menuju tempat bunda. Sesampainya di kampung halamanku, aku segera menuju rumah sakit tempat bunda di rawat. Ketika di rumah sakit aku bertemu dengan ibu mertuaku yang sudah beberapa hari ini menjaga bunda. Segera ku cium tangan mertuaku ini dan memeluknya.
"Bunda hanya kecapekan kata dokter. Darah rendahnya kambuh. Jadi bunda butuh istirahat beberapa hari di sini nak” Ucap ibu mertuaku menenangkanku.
Betapa aku sanggat sedih ketika melihat bunda terbaring lemas di rumah sakit. Ingin rasanya aku segera memeluknya dan menjaganya. Namun bunda di haruskan beristirahat dahulu. Akupun hanya melihatnya dari luar ruangan bunda.
“Sudah sore Ais, ayo kita pulang dulu. Besok pagi kita ke sini lagi” Ajak suamiku.
Akupun mengikuti suamiku untuk pulang kerumah bunda. Pertamakalinya aku menempati rumah ini lagi. Akupun menuju kamar bunda. Seperti biasanya kamar bunda selalu tertata rapi. Kupandangi setiap bingkai foto yang menancap di dinding-dinding kamar bunda yang wana catnya sudah mulai memudar. Terlihat foto pernikahan bunda bersama ayah. Terlihat pula foto ayah menggendong aku saat masih kecil. Tak terasa buliran-buliran air mata membasai pipiku.
Akupun merebahkan tubuhku di tempat tidur bunda. Mengingat masa-masa dimana aku tak bisa tidur jika tidak bersama bunda. Bunda Ais sungguh merindukan semua itu.
Pandanganku tertuju pada buku bersampul merah muda yang ada di meja bunda.
“Buku apa itu?” Lirihku..
Akupun mengambil buku yang sedari tadi membuat aku penasaran ingin membukanya.
Ternyata itu diary bunda. Aku sedikit tersenyum ketika tau kalau bunda juga menulis diary seperti aku. Sebenarnya aku tak mau membukanya. Tapi aku ingin sekali membaca tulisan bunda. Dan akhirnya ku baca buku diary bunda itu.
“Bunda maafkan Ais ya” Gumamku dalam hati.
Dear Allah
Allah.. tolong sampaikan kepada suamiku tercinta ya..
Abi, Hari ini putri kecil kita sudah bisa berjalan. Abi tau ndak, tingkahnya lucu sekali. Umi lagsung memakaikannya sepatu. Andai abi di sini, pasti abi sanggat senang melihatnya. Abi, putri kecil kita ini sanggat pintar sekali. Dia lebih dulu bisa berjalan dari teman-temannya. Mungkin akan lebih pintar lagi jika di sampingnya ada seorang ayah yeng mendampinginya
Abi rindu ndak sama putri kecil kita ?
Abi rindu ndak sama Umi ?
Disini umi dan putri kecil kita sanggat merindukan abi. Umi janji, umi akan mendidik putri kecil kita ini menjadi putri yang sholehah seperti yang abi impikan. Terkadang umi sanggat lelah menjalani semua ini sendirian abi. Namun semua lelah umi hilang ketika umi melihat putri kecil kita. Semoga semua ini menjadi kebahagiaan pula untuk abi di sana.
Salam sayang dan rindu dari Umi untuk Abi
Dear Abi
Abi, Umi harap abi senang di sana. Umi tau dengan umi menulis di kertas putih ini tak akan merubah semuanya. Namun hanya ini yang bisa umi lakukan selain berdo’a untuk abi. Hanya ini yang mampu mengurangi rasa rindu umi kepada abi.
Abi, putri kecil kita hari ini terjatuh dari sepeda. Lututnya berdarah, putri kecil kita terlihat kesakitan abi. Mungkin ini adalah kelalaian umi dalam menjaganya. Maafkan umi ya abi. Andai saja di sini ada abi, mungkin umi tak akan sekhawatir ini.
Oh Rabb.. ternyata bunda selalu menuliskan setiap kejadian yang aku alami di kertas ini. Mungkin itu sebabnya bunda tak pernah menunjukkan raut wajah sedih dihadapanku. Aku melanjutkan membaca isi diary bunda.
Abi, putri kecil kita telah tumbuh dewasa.
Hari ini ia sedang di wisuda abi, umi tak menyangka umi bisa mendidiknya sejauh ini. Putri kecil kita ini sanggat sayang sama umi. Agamanyapun tak kalah hebat dengan umi. Bacaan Al-Qurannya lancar dan merdu.Putri kecil kita ini sudah hafal beberapa juz tanpa umi suruh sedikitpun untuk menghafal. Umi bangga mempunyai putri kecil kita ini. Mungkin jika abi disini, abi pasti juga bangga sama seperti umi.
Abi,
Hari ini adalah hari yang paling umi takutkan. Hari dimana putri kecil kita ini akan menjadi milik orang lain. Abi, umi tak rela, umi tak rela putri kecil kita ini menjadi milik orang. Rasanya baru kemarin putri kecil kita ini bisa berjalan, namun kenapa sekarang sudah sebesar ini. Abi, umi akan sendirian lagi, karena mungkin setelah putri kecil kita ini menikah, dia tak lagi bersama umi dan akan mengikuti suaminya. Jika umi boleh meminta, bawalah umi segera bersama abi di surga. Umi mohon abi. Umi tak sanggup bila harus berpisah dengan putri kecil kita ini.
Tak terasa buliran-buliran air mata ini keluar dan mengalir membasahi pipiku. Aku sedikit tak percaya dengan tulisan ini. Aku tak pernah melihat guratan rasa sedih di wajah indah bunda. Hanya senyum-senyum manis bunda yang setiap hari ku lihat. Apa aku yang terlalu tak peka pada perasaan bunda? Apa aku yang tak pernah peduli dengan perasaan bunda? Apa aku yang selalu sibuk dengan perasaanku sendiri?
Bunda.. maafkan anak bunda ini yang mungkin tak pernah peduli dengan bunda. Robb.. Maafkan hambaMu ini..
Sebenarnya aku tak kuasa untuk membaca lagi isi dari diary bunda. Tapi entah mengapa ada rasa ingin melanjutkan untuk membacanya. Ku usap air mataku dan kulanjutkan membacaku.
Abi…
Hal yang umi khawatirkan kini menjadi kenyataan. Putri kecil kita ini sebentar lagi akan mengikuti suaminya bertugas di luar pulau. Sebenarnya umi tak inggin itu terjadi. Namun itu semua sudah menjadi kewajiban untuk putri kita, dan sudah menjadi kewajiban umi untuk melepasnya. Abi, hati umi sedih ketika umi harus melepas putri kecil kita ini. Sepertinya umi tak sanggup jauh dari putri kita. Umi tahu kalau umi tak boleh seperti ini, tapi umi benar-benar tak mengerti harus berbuat apa.
Robbi.. Bantu hambaMu ini untuk mengikhlaskan putri kecilku. Sadarkan aku jika semua ini adalah titipanMu yang kapanpun Engkau mau mengambilnya, Engkau akan ambil dariku.
Dear putriku..
Bunda sendirian di rumah. Rumah ini semakin sepi saja tanpa adanya Ais putri bunda. Sepi tanpa ada celotehan Ais, sepi tanpa ada gurauan Ais, sepi tanpa ada manjanya Ais, sepi tanpa ada curhatan Ais, sepi tanpa ada tawa senangnya Ais. Bunda rindu dengan celotehan, gurauan, manja, curhatan, tawa senangnya Ais. Mungkinkah ketika Ais kembali, masih ada bunda di sini ? Mungkinkah bunda masih bisa mendengar celotehannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar gurauannya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa merasakan sikap manjanya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa mendengar segala keluh kesahnya Ais ? mungkinkah bunda masih bisa melihat tawa senangnya Ais ?
Ais, maafkan bunda nak. Bunda telah marah-marah terhadapmu. Sebenarnya bunda tak kuasa melakukan semua itu. Namun bunda harus melakukannya agar Ais bisa mandiri tanpa bunda. Karena suatu saat akan tiba dimana Ais akan kehilangan bunda untuk selamanya. Jika Ais bertanya apakah bunda merindukan Ais ? Jawabannya adalah sanggat nak. Dan jika Ais bertanya lebih rindu mana bunda terhadap Ais atau Allah ? Bunda dengan yakin akan menjawab Allah. Namun itu semua bukan berarti bunda tak menyayangimu nak. Bunda sanggat menyayangi Ais. Bunda bersyukur Ais telah memiliki pemimpin yang sungguh luar biasa dalam memimpinmu nak. Setidaknya bunda tak perlu khawatir jika bunda telah dipanggil oleh Allah nanti.
Ilahi.. aku ingin mendengar celotehannya, mendengar gurauannya, merasakan manjanya, mendengar curhatannya dan melihat tawa senangnya nanti sebelum ajal menjemputku untuk menghadapMu.
Salam rindu bundamu
Lagi-lagi air mata ini tak bisa ku bendung. Dadaku sesak dengan rasa penyesalan yang tak berarti. Kenapa aku tak pernah merasakan kesedihan bunda? Kenapa aku hanya bisa su’uzhon kepada bunda? Kenapa aku tak pernah peka terhadap perasaan bunda?
Aku terlalu egois dengan perasaanku sendiri. Masihkah pantas kalau aku bilang aku sanggat menyayangi bunda ? padahal sikapku tak mencerminkan itu semua. Oh Ilahi ampuni aku yang terlampau sering membuat sedih seorang yang sanggat menyayangiku itu